Sejarah Desa Tigajuru
Tigajuru merupakan salah satu diwilayah Kerajaan Kalinyamat pada waktu itu. Dipimpin oleh seorang ratu bernama Ratu Kalinyamat yang mempunyai suami bernama Sultan Hadirin. Pada suatu ketika diwilayah lereng Gunung Muria khususnya yang terjadi di wilayah Mayong terjadi “pagebluk” yang diakibatkan oleh kerusuhan dan banyaknya perompakan serta perampokan maka beliau mengutus Roro Ayu Mas Semangkin (Ibu Mas Semangkin) untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Roro Ayu Mas Semangkin (Ibu Mas Semangkin) adalah anak ke 4 Sunan Prawoto Demak, semasa kecil hingga tumbuh menjadi remaja putri beliau diasuh oleh bibinya bernama Ratu Kalinyamat. Setelah menjelang dewasa kemudian menjadi ”garwo selir” Panembahan Senopati/Sutowijoyo dari Kerajaan Mataram. Roro Ayu Mas Semangkin kembali ke Jepara untuk menunaikan tugas suci menumpas ”pagebluk” tersebut. Beliau dinobatkan sebagai panglima perang didampingi oleh Lurah Tamtomo Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan. Atas keahlian, kemahiran dan ketangkasan olah kanuragan dan strategi perang Roro Ayu Mas Semangkin maka kerusuhan tersebut dapat dengan segera dipadamkan. Setelah itu Roro Ayu Mas Semangkin tidak berkenan kembali ke Mataram tetapi justru mendirikan pesanggrahan dan menetap di Desa Mayonglor hingga beliau wafat.
Selain misi tersebut Ratu Kalinyamat juga mengutus Ibu Mas Semangkin untuk menyiarkan agama Islam keseluruh pelosok kerajaan, untuk itu Ibu Mas Seangkin membuat pemerintahan atau kraton pada waktu itu di wilayah Mayong yang notabene mayoritas masyarakat Mayong beragama Hindhu dan Khonghucu. Dalam melaksanakan tugasnya Ibu Mas Semangkin dibantu oleh juru atau ahli dibidang-bidang tertentu, antara lain Ki Brojo Penggingtaan, Ki Tanujayan, Mbah Notokusumo, Mbah Abdullah Mufakatan, dan Mbah Suriyah Tunjungsari. Dari kelima murid tersebut, Ibu Mas Semangkin menugaskan Mbah Notokusumo, Mbah Abdullah Mufakatan, serta Ibu Suriyah Tunjung sari untuk mengurus sebuah wilayah yang bernama Tigajuru.
Tigajuru terdiri dari dua kata yaitu Tiga yang berarti tiga (three) dan juru yang berarti ahli, karena di Tigajuru ada tiga orang yaitu Mbah Notokusumo, belaiau adalah berasal dari Keraton Surakarta yang merupakan juru pemerintahan, Mbah Abdullah Mufakatan, belaiau berasal dari Demak merupakan juru runding atau musyawarah mufakat, dan Ibu Suriyah Tunjung Sari merupakan juru masak. Dari ketiga juru itu maka wilayah tersebut dinamai TIGAJURU.
SEJARAH DESA MAYONG LOR
Sejarah Desa Mayonglor dimulai dari Roro Ayu Mas Semangkin adalah anak ke 4 Sunan Prawoto Demak dan merupakan pendiri desa Mayonglor. Semasa kecil hingga tumbuh menjadi remaja putri beliau diasuh oleh bibinya bernama Ratu Kalinyamat. Setelah menjelang dewasa kemudian menjadi”garwo selir”Panembahan Senopati / Sutowijoyo dari Kerajaan Mataram. Roro Ayu Mas Semangkin kembali ke Jepara untuk menunaikan tugas suci menumpas”pagebluk”oleh sebab dan yang diakibatkan oleh kerusuhan dan banyaknya perompakan serta perampokan di wilayah lereng Gunung Muria, khususnya yang terjadi di Wilayah Mayong. Beliau dinobatkan sebagai panglima perang didampingi oleh Lurah Tamtomo Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan. Atas keahlian, kemahiran dan ketangkasan olah kanuragan dan strategi perang Roro Ayu Mas Semangkin maka kerusuhan tersebut dapat dengan segera dipadamkan. Setelah itu Roro Ayu Mas Semangkin tidak berkenan kembali ke Mataram tetapi justru mendirikan pesanggrahan dan menetap di Desa Mayonglor hingga beliau wafat.
Pada waktu itu banyak para murid dari padepokan Roro Ayu Mas Semangkin, Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan selain berguru kepadanya juga banyak berguru ke Padepokan Datuk Singorojo yang kebetulan ahli dalam membuat ukir–ukiran dan keramik. Keahlian Datuk Singorojo ini kemudian ditularkan kepada murid–murid tetangga padepokan tersebut. Dalam waktu singkat padepokan tersebut banyak kedatangan murid untuk berguru ilmu kanuragan, keagamaan dan kerohanian dan yang terpenting adalah belajar membuat gerabah. Sejalan dengan perjalanan waktu kemudian muncul perkampungan baru bernama Undagen di desa Mayonglor yang khusus mengembangkan kerajinan gerabah, genteng, keramik dan seni ukir. Dalam perkembangan jaman maka pada tahun 1937 Belanda mendirikan Pasar Mayong yang ditujukan sebagai tempat berjualan berbagai macam barang–barang kerajinan gerabah yang digunakan untuk kepentingan rumah tangga dan berbagai macam mainan seperti manuk–manukan, gajah–gajahan, sapi–sapian, terbang–terbangan dan sebagainya. Dengan keahlian masyarakat Mayonglor dalam membuat gerabah dan teknik pembuatan keramik maka di Mayong didirikan pabrik keramik.
0 komentar:
Post a Comment