Desa BUNGU
Desa Bungu, 400-700 m di atas permukaan laut, merupakan salah satu desa di lereng selatan Gunung Muria. Bungu berada di bawah administrasi Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Indonesia.
Bungu terdiri dari 12 dukuh, Krajan (pusat administrasi), Tumut, Gondang, Sekutut, Beto, Nganjir, Gerit, Segrobog, Pagir, Benjaran, Beji dan Gendon. Ada 2.839 jiwa yang tinggal di Bungu dibagi menjadi 20 Rukun Tetangga. 53% dari penduduk Desa Bungu adalah petani, 36% adalah buruh tani dan 11% adalah buruh industri.
Peran penting dari Bungu di daerah ini sebagai daerah tangkapan air irigasi untuk lebih dari 4.000 ha lahan pertanian di Mayong, Nalumsari, Batealet dan Kalinyamatan Kecamatan. Bungu juga merupakan sumber air minum bagi masyarakat di Bategede, Sumosari, Pancur dan Klampitan.
Bungu mencakup area 631,335 Ha. 63% adalah lahan pertanian, 24% adalah daerah perumahan dan 13% adalah kawasan hutan yang dikelola oleh Perhutani. Produk pertanian utama berupa padi, singkong, kacang tanah, jagung, tebu, kopi, buah-buahan (pisang, rambutan, mangga, durian, jeruk dan kelapa). Produk-produk pertanian tersebut dikonsumsi oleh masyarakat lokal di daerah Jepara, terutama di Kecamatan Mayong, Kecamatan Pecangaan, Kecamatan Nalumsari, Kecamatan Batealet, Kecamatan Kalinyamatan dan Kecamatan Welahan. Petani di Bungu juga menanam pohon di tanah mereka sendiri digunakan sebagai bahan furniture, bahan bangunan dan kayu lapis material. Pohon-pohon petani menanam yang Albizia falcataria, kayu jati, mahoni dan kapuk.
Berada di pelosok desa, jauh dari kota dan ibu kota pemerintahan, tentu menjadi persoalan bagi warga setempat. Dari mulai perekonomian sampai infrastruktur yang ada kalanya kurang memadai. Hal tersebut mungkin bisa dirasakan di Desa Bungu Kecamatan Mayong Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Daerah ini merupakan kawasan pegunungan yang berada di sebelah utara Kecamatan Mayong paling ujung. Desa Bungu berbatasan langsung dengan Desa Pancur (sebelah barat) dan Desa Bategede (sebelah selatan). Hanya jalan dari kedua desa itu yang menjadi akses utama jalur perekonomian Desa Bungu. Jika jalan dari keduanya tertutup seperti ada longsor dan sebagainya, maka perekonomian Desa Bungu lumpuh total. Sedangkan arah utara dan timur berbatasan langsung dengan gunung, tebing-tebing dan semak belukar.
Terkait jalan, bisa dikatakan rusak parah dan perbaikan jalan hanya sebatas menambal yang berlubang. Pada tahun ini, jalan utama Desa Bungu bagian perbatasan dengan Desa Pancur baru tahap renovasi. Sedangkan yang perbatasan dengan Desa Bategede rusak. Paling parah bisa dilihat di Kampung Gendon dan Gondang yang selalu dilewati truk pengangkut batu. Kedua kampung itu merupakan jalur utama masuk keluar kendaraan. Sama halnya juga jalur menuju ke Kampung Nganjir pun sudah rusak. Padahal baru diperbaiki dan diresmikan oleh kepala desa dan Camat Mayong. Ditambah akses jalan yang naik turun, membuat masyarakat dan saya sendiri pun malas untuk melewatinya.
Awal tahun 2014 lalu, semenjak kejadian longsor menerpa, kondisi jalan kedua kampung semakin parah hingga sekarang. Sangking rusaknya, bebatuan yang tadinya tertutup aspal terlihat lancip dan kadang membuat ban bocor. Kubangan air pun banyak ditemui saat musim hujan tiba. Di kala musim kemarau, debu-debu saling berhamburan membuat mata, hidung dan mulut harus dijaga. Setiap tahun warga sekitar selalu seperti itu.
Kecelakaan sering terjadi saat warga dari desa lain berkunjung ke Desa Bungu melewati jalur Kampung Gendon. Biasanya mereka ingin bertemu kerabat atau sekedar menghadiri hajatan. Pernah ada kejadian, saat mereka menghadiri hajatan, mereka tidak bisa mengendalikan motor karena harus memilah-milah jalan yang bagus. Tetapi keseimbangannya hilang, lalu terjatuh dan tangannya tergilir. Hal yang sama juga dirasakan warga lain yang melintasi jalan tersebut.
Isu tentang perbaikan jalan dengan beton sudah lama bergulir dan pertama saya mendengarnya pada tahun 2014. Berbagai pihak perangkat desa mengatakan bahwa perbaikan jalan akan dilakukan pada bulan dan tahun ini. Tetapi belum jelas kapan akan terealisasi. Begitu seterusnya sampai saya bosan mendengarnya.
Masyarakat sekitar sebenarnya sudah lama mengidamkan jalan yang mulus dan bagus alias aspal goreng. Sehingga roda perekonomian mereka dapat efisien dan efektif. Disamping itu, keselamatan pengendara motor dan mobil juga yang paling diutamakan. Namun, keinginan mereka tidak diimbangi dengan kesadaran menjaga lingkungan. Mengapa demikian?. Ada beberapa titik tanah di Desa Bungu yang dijadikan area pertambangan batu sebagai tempat mencari nafkah oleh warga sekitar. Yaitu dengan bekerja sebagai buruh batu. Selain mereka, juga ada masyarakat dari desa lain yang bekerja disitu. Kebutuhan ekonomi mungkin menjadi penyebab mereka melakukan pekerjaan berat tersebut.
Mereka mengambil batu dari yang punya tanah dan diangkut dengan truk atau orang setempat menyebutnya dam. Truk tersebut setiap hari melewati jalan utama desa. Muatan truk yang berat membuat kondisi jalan tambah rusak. Jika terus seperti itu, maka dambaan jalan mulus hanya sebatas angan-angan.
Pendidikan agama atau ceramah agama di Desa Bungu hanya membahas tentang ritual dan aklak semata. Seharusnya agama juga menyinggung masalah alam dan cara menjaganya. Agama sebagai obat rohani mungkin bisa mempengaruhi warga sekitar untuk lebih ramah kepada alam. Karang taruna desa yang berisi pemuda pun belum terlihat kerjanya. Padahal, biasanya pemuda memiliki segudang pemikiran kreatif untuk memberdayakan warga sekitar.
Pemerintah Desa seharusnya bekerja sama dengan waga sekitar, bermusyawarah menemukan solusi untuk masalah ini. Saran saya, manfaatkan Sumber Daya Alam (SDA) lokal yang bisa digunakan guna memberdayakan warga sekitar. Seperti pertanian dan perkebunan yang unggul mungkin bisa jadi harapan. Pasalnya hamparan sawah dan tanah yang subur banyak ditemukan di desa ini. Destinasi tempat wisata alam juga dapat menopang perekomian Desa Bungu. Disini banyak wisata seperti Air Terjun Suroloyo dang Nganjok. Warga sekitar dapat berjualan disitu. Tetapi lagi-lagi, banyak pengunjung yang mengeluhkan tentang akses jalan. Jalan memang pokok pertama guna membuka kesejahteraan rakyat. Tanpa jalan yang baik, perekonomian akan sulit berkembang.
Setelah beberapa potensi digali dan dimanfaatkan oleh warga sekitar, hasil dana yang didapat diatur Pemdes setempat digunakan untuk memperbaiki jalan. Disamping itu, warga yang tadinya berprofesi sebagai buruh batu akan beralih pekerjaan dan akan fokus mengembangkan potensi daerahnya. Itulah awal desa disebut mandiri. Mandiri dalam berpikir dan ekonomi kerakyatan sejahtera. Semoga.
0 komentar:
Post a Comment